Senin, 18 Januari 2010

Roselaers Gowes Ke Curug Panjang


Hari ini (Minggu, 17 Januari 2010) ada 31 Rosela'ers gowes ke Curug Panjang. Ada Om Bimar yang menawarkan dirinya untuk jadi sweeper (wink2), ada Rizal (yang selalu menyebutkan dirinya guanteng) sbg road captain, Adit Ting2, Angga Gumilang, Angga Abigel, Om Yudo, Om Lukman, Om Wito, Bang Bens sekeluarga, sang korwil abang Icang, srikandi2 Rosela yang huebaaattt di tanjakan (Thya, Lita, Epoy, Wulan dan saya sendiri) dan para arjuna lainnya.




Sebagian besar start gowes dari Gadog sisanya start gowes dari Mega Mendung.


Bener2 pengalaman pertama gowes uphill yang gak akan terlupakan. Seneng bangga liat temen2 yang semangat gowes hingga titik darah penghabisan. Sedangkan saya sempet di evakuasi karena memang gak sanggup. Hiks! Sampe akhirnya pas mau mulai gowes lagi menuju keatas ternyata stang sepeda yang saya pake bermasalah, tiba2 stang ban gak singkron beloknya (stem-nya amburaduuulll). Alhamdulillah Gusti Allah masih memberikan saya kesempatan hidup karena saya hampir masuk jurang... Deg2an abiiiisss :(




Sampe diatas langsung isi perut dgn mie instant, gorengan dan minuman hangat. Eh ternyata kita ketemu sama rombongannya Om Ozy. Abis itu kami langsung beranjak ke air terjun untuk syuting "Air Terjun Pengantin jilid 2". Ahahahahahaa.




Berhubung airnya dingin bangeeeettt, sampe menggigil gak karuan gitu, akhirnya kita segera pergi dari air terjun untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Sayangnya saya gak bisa ikut karena sepeda saya terlalu berbahaya untuk dipergunakan. Iriiiiii banget liat temen2 yang meluncur dengan gesitnya. Terpaksa ikut mobil pick up gigit jari. Anticlimax!

Sampe di rumah tempat kita parkir mobil, sebagian loading sepeda, sebagian mandi ganti baju, sebagian lagi menyantap makan siang yg sudah tersedia.




Akhirnya keceriaan Rosela'ers hari ini disempurnakan dengan pesta duren di Parung. Horraaaaaayyy!

Aaahhhh senangnyaaaa saya hari ini. I love you so much guys!

Selamat beristirahat!!! Zzzzzzzz

Cium pipi kiri kanan...
by: Fannie

Jumat, 15 Januari 2010

Nte Thya, Membimbing Sambil Menggowes

Bagaimana rasanya menggowes sepeda 225,19 kilometer jauhnya? Buat Cinthia Puji Bhintarti, ada sensasi lain yang mengalahkan bokong yang mati rasa. ”Bagus untuk pelajaran mental, kita ditantang untuk mengalahkan rasa putus asa,” ujar Thya, panggilan akrabnya, dalam obrolan santai pada awal tahun ini.



Pengalaman berharga itu didapati guru bimbingan konseling SMU Lab School, Kebayoran, Jakarta Selatan, saat mengikuti touring Jelajah Bali, 25-31 Desember 2009. Kegiatan tahunan bersepeda antarkota yang diselenggarakan salah satu klub sepeda di Surabaya itu berawal di Singaraja dan berakhir di Kuta.

”Waktu itu Bali lagi panas-panasnya. Saya udah enggak berani lihat ke depan karena takut keder duluan begitu melihat tanjakannya,” katanya seraya tertawa lepas.

Jalur pantai barat Singaraja-Denpasar yang dilewati memang miskin jalan datar. Sebagian besar dipenuhi tanjakan yang, meminjam istilah Thya, menggetarkan dengkul. Tetapi, di tengah medan yang berat itu dia tetap menikmati pemandangan pantai dan laut lepas ketika menyusuri etape pertama, Singaraja sampai ke kawasan wisata selam Amed, sejauh 75 kilometer.

Setelah beristirahat semalam di Amed, sekitar pukul 08.00 perjalanan dilanjutkan melewati Karangasem, Candi Dasa, Padang Baai, Klungkung, Gianyar, dan Denpasar. Etape ini total berjarak 130 kilometer. Rombongan sampai di Denpasar pukul 18.00 setelah menggowes hampir 10 jam. ”Rasanya antara lega dan enggak percaya bisa bertahan juga sampai akhir. Lucunya, saking seneng-nya, enggak berasa capek, padahal dari Denpasar kami masih bersepeda lagi ke tempat menginap di Kuta,” ujar Thya bangga.

Dari 65 penyuka olahraga sepeda yang ikut ambil bagian pada kegiatan itu hanya ada empat peserta perempuan. Thya adalah salah satunya. Touring Jelajah Bali itu menjadi pengalaman keduanya bersepeda antarkota. Ketika ditawari salah satu temannya untuk ikut, Thya spontan mengiyakan. Untuk pemanasan, dia sempat ikut rombongan komunitas Bike2Work bersepeda ke Bogor. ”Lumayan juga, sekitar tiga jam sampai ke Bogor,” katanya.

Berbagi dengan murid

Pengalamannya ikut Jelajah Bali itu yang ia bawa ke Jakarta untuk dibagi dengan para muridnya di SMU Lab School. Kebiasaan Thya bersepeda dari rumah ke sekolah menarik perhatian murid-muridnya. Sekarang ada sekitar 30 anak yang mengikuti jejak Thya. Sebagian mereka malah bergabung dengan komunitas pelajar bersepeda alias Bike to School (B2S).

”Memang tidak semuanya setiap hari, ada yang dua kali seminggu. Saya bilang, yang penting kita belajar memetik manfaatnya, belajar berdisiplin dan hidup sehat, bukan karena latah karena bersepeda sedang ngetren,” kata lulusan Universitas Negeri Jakarta itu.

Sebagian muridnya yang berasal dari kalangan mampu ada yang dibelikan sepeda mahal oleh orangtuanya. Namun, Thya mengingatkan bahwa yang lebih penting adalah perhatian mereka untuk memelihara sepeda-sepeda itu. ”Beberapa murid akhirnya ada yang memilih untuk membeli perlengkapan sepeda dari tabungan uang jajan, bukan minta lagi ke ortu,” ujar lajang kelahiran Jakarta ini.

Tidak semua orangtua suka dengan kebiasaan bersepeda karena khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka. Apalagi, lalu lintas Jakarta yang amburadul dan belum mengedepankan keselamatan warganya. Thya dinilai ”meracuni” murid-muridnya. Namun, Thya berusaha meyakinkan dengan mengajari murid-muridnya cara bersepeda yang aman di jalan. ”Saya juga mengingatkan mereka untuk selalu mengenakan perlengkapan standar, seperti helm dan sarung tangan,” kata Thya.

Lucunya, murid-murid yang antusias dengan kegiatan bersepeda juga mendirikan klub di tiap angkatan. Ada yang dinamai Hackers dan Crackers. Kegiatan bersepeda juga semakin menguatkan kedekatan Thya sebagai guru pembimbing konseling dengan murid-muridnya. Bersama mereka, Thya sempat menikmati bersepeda malam hari ke Museum Bank Mandiri di kawasan Kota Tua. Jadilah ia menggowes sambil membimbing. ”Saya juga beroleh pengalaman lucu, ternyata sekarang banyak anak yang tidak bisa mengendarai sepeda saking protektifnya orangtua mereka,” ujar Thya.

Kesempatan bersepeda bersama juga dimanfaatkan Thya untuk mengajarkan arti kebersamaan dan kesetiakawanan kepada anak didiknya. ”Kalau ada yang bannya kempes, teman lainnya membantu. Yang kuat menggowes mengiringi yang ngos-ngosan,” katanya.

Ia berprinsip bahwa guru bimbingan konseling harus memiliki pendekatan yang berbeda dalam menangani anak-anak dengan guru mata pelajaran yang lain. Itu pula yang membuat ia memilih masuk ke jurusan bimbingan konseling selepas sekolah menengah. Melihat antusiasme anak didiknya, Thya sedang mengupayakan tempat parkir khusus sepeda di sekolah. ”Supaya sepeda tidak lagi dianggap sebagai kasta terendah dalam jenjang transportasi,” ujarnya.

Thya sudah suka bersepeda sejak kecil. Ia terbiasa bersepeda dari rumah ke sekolah, ke rumah teman, dan ke tempat-tempat bermain. Sayang kesenangannya itu terhenti memasuki masa sekolah menengah pertama karena orangtuanya pun menyimpan kekhawatiran yang sama tentang keamanan di jalan bagi anak perempuan mereka. ”Ya, banyaklah alasannya, takut tertabrak sepeda motor dan mobil,” kisah Thya.

Namun, dua tahun lalu dia memberanikan diri untuk kembali bersepeda. Awalnya karena jenuh dengan kemacetan yang harus dihadapi ketika naik angkutan umum. Semula hanya sekali seminggu, kemudian bertambah menjadi dua kali seminggu, hingga akhirnya ia semakin keranjingan. Sekarang sepeda menjadi sarana transportasi harian dari rumahnya di kawasan Pasar Minggu ke kantornya di Kebayoran Baru dengan jarak sekitar 15 kilometer.

”Sempat kesenggol motor juga, tetapi karena itu saya jadi lebih awas. Naik sepeda buat saya itu seru karena ada unsur olahraga dan main-mainnya. Dua hal ini yang kerap tidak sempat dilakukan karena kesibukan pekerjaan,” kata Thya yang memiliki empat sepeda di rumahnya.

Ia menilai, bersepeda membuka kesempatan untuk bertemu dengan banyak golongan orang. ”Mereka yang berangkat pagi-pagi itu justru kebanyakan bukan orang kantoran. Saya jadi punya kenalan tukang oncom dan tukang balon yang selalu menanyakan kalau saya tidak kelihatan,” tuturnya.

Satu hal lagi yang membuat dia semakin bersemangat, penyakit asmanya tidak pernah lagi kumat sejak ia rutin menggowes ke sekolah. ”Efek negatifnya cuma kulit makin item aja, ha-ha-ha.”

Thya masih menyimpan obsesi untuk memperlebar kayuhan sepedanya bukan hanya antarkota, tetapi juga antarnegara. ”Backpacking ke Vietnam dengan sepeda kayaknya seru juga,” ujarnya dengan mata berbinar.

by : DOTY DAMAYANTI